Senin, 02 Juli 2012

Anemia Hemolitik Autoimun


ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN

Penyakit autoimun di masyarakat mencapai 5-7% dan seringkali merupakan penyakit kronik. Kelainan imunologi yang terjadi merupakan gambaran suatu penyakit yang heterogen yang dapat dikelompokkan dalam penyakit sistemik (misalnya arthritis reumatoid) dan penyakit organ spesifik (misalnya anemia hemolitik autoimun).
Angka kejadian tahunan anemia hemolitik autoimun dilaporkan mencapai 1 per 100.000 orang pada populasi secara umum. Anemia hemolitik autoimun merupakan kondisi yang jarang dijumpai pada masa anak-anak, kejadiannya mencapai 1 per 1 juta anak dan bermanifestasi primer sebagai proses ekstravaskuler.

A.        Definisi
Hemolisis adalah kerusakan sel darah merah pada sirkulasi sebelum 120 hari (umur eritrosit normal). Hemolisis mungkin asymptomatic, tapi bila ‘eritropoesis’ tidak dapat mengimbangi kecepatan rusaknya sel darah merah dapat terjadi anemia. (Gurpreet, 2004)
Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) adalah suatu kondisi dimana imunoglobulin atau komponen dari sistem komplemen terikat pada antigen permukaan sel darah merah dan menyebabkan pengrusakan sel darah merah melalui Sistem Retikulo Endotelial (SRE). Antibodi yang khas pada AIHA antara lain IgG, IgM atau IgA dan bekerja pada suhu yang berbeda-beda. (Lanfredini, 2007)
AIHA tipe hangat diperantarai IgG, yang mengikat sel darah merah secara maksimal pada suhu 37oC. Pada AIHA tipe dingin diperantarai oleh IgM (cold aglutinin), yang mengikat sel darah merah pada suhu yang rendah (0 sampai 4oC).
AIHA tipe hangat lebih sering dijumpai dari pada tipe dingin. Wanita lebih sering terkena daripada laki-laki.
Direct Coomb’s tes dapat menunjukkan adanya antibodi atau komplemen pada permukaan sel darah merah dan merupakan tanda dari autoimun hemolisis.

Direct Coombs' Test.
Direct Coombs' Test.

B.       Etiologi
Pada sebagian besar kasus, fungsi imun yang abnormal dapat menyebabkan tubuh menyerang sel darah merah yang normal. Beberapa penyebab tidak normalnya system imun antara lain:
1.      Obat-obatan:
-        Alpha-methyldopa
-        L-dopa
2.      Infeksi
-        Infeksi virus
-        Mycoplasma pneumonia
3.      Keganasan
-        Leukemia
-        Lymphoma (Non-Hodgkin’s tapi kadang juga pada Hodgkin’s)
4.      Penyakit Collagen-vascular (autoimun) misal: Lupus
Kerusakan sel eritrosit pada anak maupun dewasa sering disebabkan oleh adanya mediator imun, baik autoimun maupun aloimun antibodi. Berbagai faktor yang berperan dalam proses kerusakan eritrosit :
1.        Antigen sel eritrosit
2.        Antibodi-anti sel eritrosit
3.        Komponen non imunoglobulin, misalnya protein komplemen serum
4.        Sistem fagosit mononuklear, khususnya reseptor fc pada makrofag limpa

C.        Klasifikasi
Gambaran klinis anemia hemolitik autoimun dikelompokkan berdasar autoantibodi spesifik yang dimilikinya atau reaksi warm atau cold yang terjadi.
Klasifikasi anemia hemolitik autoimun :
1. Warm reactive antibodies
a.         Primer (idiopatik)
b.         Sekunder :
1).          Kelainan limfoproliferatif
                                    2).        Kelainan autoimun (Sistemik lupus eritematosus/SLE)
                                    3).        Infeksi mononukleosis
c.         Sindroma evan
d.         HIV
2. Cold reactive antibodies
a.                      Idiopatik (Cold agglutinin diseases)
b.          Sekunder :
1).          Atipikal atau pneumonia mikoplasma
2).          Kelainan limfoproliferatif
                                    3).        Infeksi mononukleosis
3. Paroxysmal cold hemoglobinuria (PCH)
a.               Sifilis
b.               Pasca infeksi virus
4. Drug induce hemolytic anemia
a.               Hapten mediated
b.               Imun komplek (kinin)
c.               True autoimmune anti RBC type
d.              Metabolite driven
D.        Gambaran Klinis
Gejala dan tanda yang timbul tidak tergantung dari beratnya anemia tetapi juga proses hemolitik yang terjadi.
Anemia hemolitik autoimun menunjukkan gejala berupa mudah lelah, malaise, demam, ikterus dan perubahan warna urine. Seringkali gejala disertai dengan nyeri abdomen dan gangguan pernafasan. Tanda-tanda lain yang ditemukan ialah hepatomegali dan splenomegali. Gambaran klinis anemia hemolitik dengan antibodi tipe warm berupa pucat, ikterik, splenomegali dan anemia berat. Dua per tiga dari kasus dihubungkan dengan IgG, merupakan antibodi langsung yang bereaksi terhadap antigen sel eritrosit dari golongan Rh.
Berbeda dengan IgG autoantibodi, IgM pada cold reactive antibody tidak menimbulkan kerusakan secara langsung terhadap sel retikuloendotelial pada sistem imun.

E.         Pemeriksaan Penunjang
Gambaran darah tepi menunjukkan adanya proses hemolitik berupa sferositosis, polikromasi maupun poikilositosis, sel eritrosit berinti, retikulositopeni pada awal anemia.
Kadar hemoglobin 3-9 g/dL, jumlah leukosit bervariasi disertai gambaran sel muda (metamielosit, mielosit dan promielosit), kadang disertai trombositopeni.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan hiperplasi sel eritropoitik normoblastik.
Kadar bilirubin indirek meningkat.
Pemeriksaan Direct Antiglobulin Test (DAT) atau lebih dikenal dengan Direct Coomb’s test menunjukkan adanya antibodi permukaan / komplemen permukaan sel eritrosit. Pada pemeriksaan ini terjadi reaksi aglutinasi sel eritrosit pasien dengan reagen anti IgG menunjukkan permukaan sel eritrosit mengandung IgG (DAT positif).

Direct Coombs' Test.
Direct Coombs' Test.

F.         Penatalaksanaan
Penderita dengan anemia hemolitik autoimun IgG atau IgM ringan kadang tidak memerlukan pengobatan spesifik, tetapi kondisi lain di mana terdapat ancaman jiwa akibat hemolitik yang berat memerlukan pengobatan yang intensif.
Tujuan pengobatan adalah mengembalikan nilai-nilai hematologis normal, mengurangi proses hemolitik dan menghilangkan gejala dengan efek samping minimal.
Penatalaksanaan yang dapat diberikan :
1.  Kortikosteroid
Penderita dengan anemia hemolitik autoimun karena IgG mempunyai respon yang baik terhadap pemberian steroid dengan dosis 2-10mg/kgBB/hari. Bila proses hemolitik menurun dengan disertai peningkatan kadar Hb (monitor kadar Hb dan retikulosit), maka dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap.
Pemberian kortikosteroid jangak panjang perlu mendapat pengawasan terhadap efek samping, dengan monitor kadar elektrolit, peningkatan nafsu makan, kenaikan berat badan, gangguan tumbuh kembang, serta risiko terhadap infeksi.
2.  Gammaglobulin intravena
Pemberian gammaglobulin intravena dengan dosis 2g/kgBB pada penderita anemia hemolitik autoimun dapat diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.
3.  Tranfusi Darah
Pada umumnya, anemia hemolitik autoimun tidak membutuhkan tranfusi darah. Tranfusi sel eritrosit diberikan pada kadar hemoglobin yang rendah, yang disertai dengan tanda-tanda klinis gagal jantung dengan dosis 5ml/kgBB selama 3-4jam.
4.  Plasmafaresis atau Tranfusi Tukar
Plasmafaresis untuk pengobatan anemia hemolitik autoimun yang disebabkan oleh IgG kurang efektif bila dibandingkan dengan hemolitik yang disebabkan oleh IgM meskipun sifatnya hanya sementara
5.  Splenektomi
Penderita yang tidak responsif terhadap pemberian kortikosteroid dianjurkan untuk splenektomi. Tetapi mengingat komplikasi splenektomi (seperti sepsis), maka tindakan ini perlu dipertimbangkan.




1 komentar: